02 Oktober 2007

Reformasi Cuma Tinggal Merek

Oleh :
Nirwanto Ki S. Hendrowinoto


Di mata dunia luar, Indonesia tidak saja memiliki pesona sejuta pulau tetapi juga punya seabrek ragam budaya dengan segala keunikannya. Kini daya tariknya bertambah dengan sensasi pesta demokrasi tahun 2004.
Bisa dibayangkan dua puluh empat partai maju ke medan laga. Mereka bakal tampil dengan segala ulah yang aneh-aneh. Bukan sekadar mengibarkan bendera sambil bersorak tapi mereka akan saling berebut dan ‘mencuri’ hati rakyat.
Memang, pesta kali ini sangat spesial dan tergolong khusus serta istimewa. Selain nuansanya jauh berbeda dibandingkan yang terdahulu, mata rakyat juga harus dilatih untuk membedakan mana partai yang baik dan yang gurem atau partai cangkokan yang dibuat untuk memperbanyak pasukan. Mengingat jumlahnya yang berjibun dan jati diri partai masih belum jelas maka tidak mudah bagi rakyat untuk jatuh cinta.
Perlu adanya sosialiasi dan pembelajaran politik agar rakyat tidak gamang dan salah pilih. Tugas berat ini harus dipikul partai dalam menyampaikan visi dan misinya secara jelas. Jangan sampai rakyat merasa tertipu, karena bisanya partai hanya cuap-cuap dan mengumbar pepesan kosong.
Selama ini, rakyat hanya jadi sapi perahan untuk dan atas nama demokrasi demi perjuangan reformasi. Buktinya, di zaman Orla, Orba dan Reformasi tetap saja rakyat jadi obyek pelengkap penderita.
Hampir semua partai bicara soal pengentasan kemiskinan, brantas KKN, tegakkan keadilan dan HAM serta pengibaran bendera demokrasi yang dapat membawa kesejahteraan rakyat. Nyatanya, semua yang diucapkan di atas mimbar pesta rakyat hasilnya berbeda dengan kenyataan yang ada. Slogan itu hanya fatamorgana bagai mimpi di siang bolong yang hasilnya bodong.
Para politisi pinter. Dia beri istilah pemilu dengan sebutan pesta rakyat. Padahal nyatanya yang pesta itu para pimpinan dan tokoh partai. Mereka bancakan posisi.. Ada yang di eksekutif atau legislatif.Dan tentu saja dibelakang posisi itu secara otomatis doku gede mengalir. Nah gimana rakyat yang mendukung ? Biarin saja mereka gigit jari. Kalau perlu diinjek dan digusur. Toh masing-masing sudah dapet kursi. Buat apa ngopenin rakyat, mereka pan saudara bukan famili bukan. Buat apa dipikirin.

Dua Pendekar
Maraknya pemilu mendatang diwarnai dengan munculnya orang-orang Orba dan bangkitnya Orla. Tercatat, calon presiden dari kelompok Orba mempercayakan Mbak Tutut jadi ‘Wanita Piningit’ dan Mbak Mega mewakili kelompok nasionalis yang mewarisi gaya Orla karena nama besar orang tuanya, Bung Karno.
Dua nama lainnya yang masih bersaudara tidak mau ketinggalan kereta, baik Rachmawati dan Sukmawati menguntit karir kakaknya Megawati juga masih ‘menjual’ nama Soekarno. Persaingan yang terjadi dalam memperebutkan kursi kekuasaan, bukanlah hal yang sepele. Pasalnya, kue kekuasaan yang terbagi-bagi akan menjadi kecil karena seleranya tidak jauh berbeda. Begitupun dengan dagangan yang ditawarkan pada khalayak dari itu ke itu saja.
Boleh jadi ajang pesta demokrasi ini hanyalah sebagai suatu proses menguji ”adu kekuatan” dua kubu yang ingin mempertahankan nilai sejarah. Masalahnya, di zaman Orba – kekuasaan dan kekuatan yang dibangun Pak Harto tergolong sangat kuat dan mengakar. Meskipun pada kenyataannya sekarang sudah banyak yang ingin belajar mandiri dan berusaha menghapus sejarah masa lampau.
Sedangkan pada kekuatan yang dibangun Bung Karno pada sikap dan prinsip mempertahankan ideologynya yang sangat kuat sebagai bangsa yang punya harga diri. Kekuatan ini tampaknya dipergunakan trilogi putri Bung Karno sebagai basis dalam membangun ‘kerajaan keluarga’. Itu sebabnya, Megawati, Racmawati dan Sukamawati muncul ke permukaan.
Bagaimana dengan partai-partai lain yang masih ‘ingusan’ ? Tentu saja harus menjual obral barang dagangannya. Termasuk partai Golkar yang hanya bisa menunggu kemurahan hati dari pengikut-pengikut lamanya yang masih setia dan rela berkorban.Namun, dari penggalangan masa yang sangat kuat dan berkuasa, Mbak Tutut dan Mbak Mega bisa jadi keduanya menjadi ‘maestro’ bagi symbol kekuasaan sebuah rezim di republik ini.
Nampaknya pertarungan Mega-Tutut dalam politik tidak lepas dari masa kanak-kanak mereka. Waktu satu sekolah di Cikini, Mega yang anak presiden waktu itu tidak akur dengan Tutut . Sering perang dingin dan main kata-kataan. Mega ngatain Tutut dan sebaliknya. Rupanya perasaan itu ikut terbawa sampai tua.

Kecap Nomor Satu
Pada umumnya, propaganda bukan saja ingin meraih simpati konsumen sebagai tujuan akhir tetapi juga menanamkan kepercayaan. Nilai produk yang ditawarkan selalu mengatasnamakan nomor satu, seperti iklan yang ada pada kecap merk apapun. Perkara rasanya satu dengan lainnya berbeda tidak menjadi soal.
Secara keseluruhan paratai-partai peserta pemilu tidak lebih dari sekadar ingin mencari peluang agar bisa mencapai kekuasaan. Ulahnya pasti unik dan lucu. Kalaupun tidak patut ditertawakan, pasti akan menggelikan jika melakukan propaganda. Sensasi yang dilakukan pasti lebih lucu dari lawakan atau kelas dagelan di layar kaca.
Siapa yang bakal menang. Dari kelompok Orla atau Orba ? Kita tidak tahu. Tapi yang jelas kelompok dan tokoh reformis pada kemana ? Kalau begitu reformasi cuma tinggal merek. Banyak disebut-sebut tapi kalau diraba tidak ada. Kasihan kamu.

(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan budaya)

0 komentar: