02 Oktober 2007

Ilmu Sosial di Indonesia, Tindakan dan Refleksi

Oleh Herwindo

Pertama-tama saya akan memulai tulisan ini dengan pendapat yang akan saya kutip dari tulisan Ignas Kleden ini. Pendapat Karl Popper yang dikatakannya sangat terkenal, tendensi para ilmuwan untuk memberi pembuktian bersifat psikologis, sedangkan tugas untuk memalsukan diri sendiri bersifat filosofis (Popper, 1979:30). Dari sini dapat kita bentangkan permasalahannya ilmu sosial yang berkembang kekinian.

Dalam hal ini dapatlah kiranya menjelaskan keadaan ilmuwan sosial di Indonesia khususnya, Asia Tenggara pada umumnya. Karena pada dasarnya fenomena yang menjadi fakta sosial di lingkungan lokal dan regional ini sama keadaannya, refleksi jarang dilakukan bahkan dalam tindakannyapun “kering” dari pemaparan realitas sosial yang ada. Padahal refleksi diri merupakan perangkat metodologis yang terpenting bagi ilmu-ilmu sosial kritis, menurut Habermas (Habermas, 1969, 155-68).

Penelitiannya sangat “kering” dari fungsi sosialnya seorang ilmuwan sosial dan hal tersebut menjadikan ilmu sosialnya sendiri “kehilangan” makna atas apa-apa yang diteliti dan dideskripsikan sebagai sesuatu yang dikonsumsi khalayak akademis dan masyarakat umum.

Namun fenomena tersebut, bukan merupakan keadaan yang dipilih oleh setiap ilmuwan sosial dimanapun melainkan ada unsur represifitas yang bersifat laten dan halus (disublimasikan) oleh kekuatan penguasa pada zaman orde baru. Berangkat dari semua itu ilmu sosial menjadi ilmu yang kajiannya tidak holistik, terdikotomis (fragmentasi), monoton dalam pengembangan, minim akan etika dan tidak bebas nilai. Fakta akan hal tersebut dapat dilihat pada media cetak harian The Jakarta Post yang terbit 26 Oktober 1992, yang menulis mengenai kongres nasional partai politik penguasa orde baru (Golkar) dalam penguasaan ruang sosio-politik untuk mendapatkan stabilitas politik dan dengan berbagai cara mempertahankan “ideologi”pembangunan nasional.

Realitas tersebut terjadi karena ada penekanan terhadap realitas yang akan dibentuk oleh penguasa orde baru guna memperlancar pembangunan nasioanal yang diprogram oleh penguasa waktu itu. Seluruh pembangunan yang dijalankan tidak mengindahkan ekses sosial dan kalaupun ada ilmuwan sosial yang melakukan tugasnya, penelitian dan observasi atas realitas sosial hanya berlaku bagi kepentingan penguasa. Metodologi yang digunakanpun sangat konvensional dalam melakukan penelitian, dimana nantinya berguna untuk membangun konstruksi wacana pembangunan yang juga berekses pembentukan rekayasa sosial Tentu saja teori yang digunakan oleh ilmuwan sosial kebanyakan, adalah teori struktural fungsionalis yang cenderung mengikuti logika politik perspektif penguasa.

Ilmu sosial yang mengembang hanya menjadi alat peredam konflik yang berkerak dan penyakit yang akut bagi negara dan bangsa Indonesia. Kaum ekonom dan sosiolog selalu beriringan pendapatnya, lebih-lebih realitas yang terlihat menyamarkan opini seorang politisi dengan dua kaum akademisi di atas tetapi, bila dicermati titik tolak disiplin ilmu masing-masing yang berbeda ini tersistematis retorikanya dan searah dengan kebutuhan yang dipesan oleh para penguasa orde baru.

Bagi para ekonom, pertumbuhan ekonomi yang akan memacu kearah pembangunan nasioanal merupakan tujuan utamanya, oleh karena itu hal tersebut menjadi landasan atas peningkatan taraf hidup bangsa. Sebenarnya bila dicermati melalui kontekstual sejarah ditekankannya pertumbuhan ekonomi lekat sekali kaitannya dengan satu alasan politis : masalah legitimasi untuk orde baru, baik itu secara internal maupun secara eksternal atas realitas politik sebelumnya (era kepemimpinan Soekarno).

Era kepemimpinan Soekarno yang menekankan pada national character building mendapatkan delegitimasi melalui kudeta konstitusional yang dilakukan oleh penguasa orde baru, setelah tumbangnya Soekarno diisilah dengan Soeharto yang mengedepankan national building. Melalui teori tetesan kebawah (trickle down theory) kepada khalayak bangsa Indonesia dihipnotis, penumpukan kekayaan merupakan awalan dari pertumbuhan ekonomi, lalu barulah kekayaan tersebut terdistribusikan secara lebih merata.

Padahal teori tetesan kebawah hanya sebagian saja dapat menjawab permasalahan tertundanya pemenuhan kebutuhan materiil, bagi mayoritas masyarakat yang tidak mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Hal tersebut menjadi kekayaan wacana yang menghasilkan buih (busa detergen) saja, embrio yang tercipta adalah konflik horisontal karena yang kaya terus menjadi kaya dan yang miskin tetap menjadi miskin. Namun konflik tersebut, ditekan guna menjaga stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi untuk pembangunan nasional.

Realitas seperti itu memang membuat pergeseran dalam bentuk interaksi sosial dan formasi sosial yang erat keterkaitannya dengan kehidupan politik dan sosio-cultural yang ada. Tetapi dalam realitas ini, telah menghasilkan suatu realitas yang nyata-nyata menjadi bisa bagi bangsa Indonesia hingga sekarang ini. Realitas yang nyata itu adalah, tumbuhnya perbedaan besar antara kemiskinan absolut, bersumber pada kurangnya pertumbuhan ekonomi. Sedangkan realitas yang nyata lainnya adalah, kemiskinan relatif, merupakan akibat dari pertumbuhan ekonomi, kemiskinan adalah harga yang harus dibayar pada satu pihak demi kemakmuran pada pihak lain. Krisis multidimensional.

Sedangkan para ilmuwan sosial, tidak langsung menaruh perhatiannya pada realitas sosial atau dapat dikatakan pada masalah pembelaan hak-hak rakyat. Namun ilmuwan sosial, yang selalu terbentur oleh realitas yang terjadi karena pembangunan nasional menjadikan para ilmuwan tersebut lebih tertarik pada perubahan-perubahan dalam kelembagaan sosial dan wawasan nilai, yang diperlukan oleh adanya perubahan tatanan keadaan semata.

Ilmuwan sosial dalam hal ini hanya dapat menguraikan bentuk kerjanya ke restrukturisasi yang merupakan reformasi sistem sosial, menunjukan pada perubahan termaksud ditingkat masyarakat yang terdiri atas formasi bentuk-bentuk interaksi sosial baru. Disinilah bentangan aktualisasi permasalahan di atas terlihat jelas adanya dikotomis atau fragmentasi, tidak holistik, minim etika, statis atau monoton dan tidak bebas nilai, ilmuwan bersikap seperti “nabi-nabi baru” yang hanya menyiarkan wahyu semata dan tidak secara emansipatoris fungsi sosialnya. Walaupun begitu, ilmuwan sosial tetap berperan penting dalam rekayasa sosial yang dapat menyusun kembali lembaga-lembaga sosial atau dalam menawarkan reorientasi terhadap masalah-masalah budaya.

Pun keadaan ilmu sosial tidak jauh perkembangannya, setelah polemik yang sangat panjang dalam suatu prosa ilmu sosial. Ilmu sosial dapat diterangkan atau ditafsirkan sebagai disiplin ilmu yang tidak netral, teori maupun konsepsi yang ada pada posisi tertekan di era orde baru tidak sekedar memiliki kapasitas menjelaskan atau menafsirkan tetapi, juga memiliki potensi melegitimasi dan mendelegetimasi. Dengan begitu, restrukturisasi lembaga-lembaga sosial dan reorientasi nilai-nilai budaya dapat dipermudah atau dihambat oleh teori-teori ilmu sosial yang sesuai dengan kebutuhan ataupun kepentingan para ilmuwan sosial.

Para aktivis pergerakan dalam bentuk realitas sosial sepeti ini lebih memainkan peranan walaupun, kadang tidak terukir dalam perubahan sejarah sosial. Dan reaktualisasi dari keadaan ilmu sosial di Indonesia khususnya, sudah kita dapatkan ilustrasinya yaitu, ilmuwan sosial pada era orde baru hanya berfungsi sebatas fungsi instrumentalis saja dan berkesan “mendukung” rezim orde baru. Menjadikan ilmu sosial tidak berkembang.

Menjadi suatu keharusan, bahwa seharusnya komunitas ilmiah dari ilmuwan sosial bukan hanya menciptakan kreatifitasnya dalam ilmunya saja yang berfungsi sosial (pemikirannya). Tetapi lebih dari itu, tempat berkumpul untuk mempertemukan manusia-manusia yang menyusun ide-ide, tempat aksi dan refleksi serta bertemu secara periodik.

Sosial Budaya

BAHASA

Keadaan bangsa Indonesia yang sangat majemuk, terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa, menyumbang pada kekayaan bahasa daerah (sekitar 300) dan dialek yang masih aktif dipergunakan sebagai bahasa percakapan di masing- masing daerah. Bahasa-bahasa daerah yang utama adalah Bahasa Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.

Kemajemukan bahasa di Indonesia menimbulkan kebutuhan akan adanya sebuah bahasa persatuan yang dapat dipergunakan di seluruh pelosok Indonesia. Kebutuhan akan adanya bahasa persatuan inilah yang mendorong diresmikannya Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional pada Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, di Jakarta. Bahasa Indonesia dikembangkan berdasarkan Bahasa Melayu Tinggi yang pada waktu itu aktif digunakan sebagai bahasa percakapan di daerah Sumatera Utara dan Riau. Dalam UUD 1945 pasal 36 bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa Negara. Sejalan dengan itu, sejak diresmikannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 Bahasa Indonesia dipakai dalam administrasi negara, perundang-undangan, dan pertemuan-pertemuan resmi.

Jauh sebelum itu, bahasa Indonesia yang merupakan perkembangan dari bahasa Melayu itu dipakai sebagai bahasa pergaulan dalam dunia perdagangan international dan bahasa diplomasi kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara.

Karena itu terdapat banyak variasi dalam pemakaian bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh dialek bahasa ibu yang ada di seluruh wilayah Indonesia.

Secara fonologis, bahasa Indonesia mengenal lima vokal (a, e, i, o, u,) tiga diftong (ai, ou, oi), dan 25 konsonan (b, c, d, f, g, h, j, k, kh, l, m, n, ng, ny, p, q, r, s, sy, t, v, w, x, y, z). Pola suku kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia adalah VK (vokal+konsonan), KV, KVK, KKV, KKVK, VKK, KVKK, KKKV,


KKKVK. Bahasa Indonesia tidak mempunyai suku kata yang berakhir dengan c atau j, tetapi mengenal suku kata yang dimulai dengan ng.

Bahasa Indonesia mengenal empat jenis imbuhan atau afiks, yaitu: awalan atau prefiks (me-, di-, ke-, ter-, pen-, pe-, per-, se-,); sisipan atau infiks (-el, -em, -er); akhiran atau sufiks (-an, -kan, -i); dan konfiks (ke - an, pen - an, per - an,). Dalam penyusunan kalimat bahasa Indonesia dikenal hukum DM (diterangkan dan menerangkan), dan umumnya menggunakan tiga pola kalimat, yaitu

subjek + predikat,

subjek + predikat + objek + pelengkap + keterangan,

subjek + predikat + pelengkap + keterangan.

Dalam bahasa Indonesia juga dikenal empat jenis kalimat, yaitu kalimat tunggal, kalimat bersusun, kalimat majemuk, dan kalimat bertopang.

KESENIAN DAN KEBUDAYAAN

Banyak suku bangsa di Indonesia yang masih memelihara tradisi, bahasa daerah, dan dialeknya. Keadaan ini menciptakan kebudayaan Indonesia yang sangat beragam. Kebiasaan dan tradisi atau adat istiadat di Indonesia bervariasi dari daerah ke daerah, bergantung pada latar belakang agama dan warisan budaya yang masih dipertahankan oleh masing-masing suku bangsa. Misalnya, perkawinan adat di daerah jawa seringkali disertai dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Pertunjukan wayang kulit ini pada mulanya menceritakan tentang kisah-kisah kepahlawanan yang berlatar belakang agama Hindu, tetapi pesan yang disampaikan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan jaman. Misalnya, pada jaman pendudukan Belanda pertunjukan wayang kulit sering dipergunakan sebagai alat penggerak rakyat untuk berjuang melawan pemerintah Belanda. Contoh lain, upacara adat di Bali tak pernah lepas dari tari-tarian Bali yang magis. Demikian juga, acara-acara untuk menyambut tamu penting sering disuguhi tari-tarian daerah yang masih dilestarikan. Setiap daerah di Indonesia mempunyai tari-tarian khas dengan musik pengiring yang berbeda dari daerah ke daerah. Misalnya gamelan dan tembang pengiring tarian Jawa berbeda dengan gamelan dan tembang pengiring untuk tarian Sunda, berbeda dengan pengiring tarian Bali, dan sebagainya.

Batik, yang merupakan kerajinan kain di Indonesia dihasilkan di beberapa daerah di Indonesia, masing-masing dengan berbagai corak dan warna yang khas untuk setiap daerah. Daerah yang banyak menghasilkan batik, antara lain adalah Yogyakarta, Surakarta, Madura, Purbalingga, Cirebon, Palembang, dan Banjarmasin. Selain batik, kerajinan kain yang banyak dihasilkan di Indonesia adalah tenun ikat. Daerah penghasil tenun ikat antara lain adalah Bali, NTB, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan lain sebagainya.

Beberapa daerah di Indonesia juga menghasilkan berbagai kerajinan tangan yang khas. Misalnya, daerah Yogyakarta terkenal dengan lukisan batiknya, daerah Bali terkenal dengan seni patung dan lukisannya, daerah Jepara terkenal dengan seni pahatnya, daerah Tasikmalaya dengan kerajinan bordirnya dan lain sebagainya.

AGAMA

Pembangunan di sektor agama termasuk salah satu tujuan pembangunan yang diutamakan guna meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Agar tercipta keharmonisan dan keseimbangan dalam kehidupan beragama di Indonesia, pemerintah telah meningkatkan kegiatan pembangunan dan membantu perbaikan tempat-tempat ibadah.

Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya sebagian besar beragama Islam. Namun, tidak berarti bahwa agama atau kepercayaan lain dilarang, karena kebebasan untuk menjalankan ibadah dijamin dalam UUD 1945. Selain agama Islam agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha.

HUKUM

  • PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM di INDONESIA

Perkembangan sistem hukum di wilayah Indonesia secara garis besar dapat dikategorikan dalam enam periode yang merupakan suatu peristiwa perubahan sub-sub sistem yang berlangsung secara berangsur-angsur menuju pada suatu Sistem Hukum Nasional yang merupakan cita-cita para pendiri Bangsa Indonesia

Sebelum Kemerdekaan Indonesia

Pada tahap pertama, sistem hukum di wilayah Indonesia telah terbentuk sejak kurang lebih abad ke 14 dengan didominasi oleh berlakunya Hukum Adat Minangkabau untuk masyarakat Minangkabau, Hukum Adat Majapahit untuk wilayah Jawa timur, begitu juga wilayah-wilayah lainnya. Hukum-hukum Adat ini memiliki asas-asas dan falsafah yang berbeda satu dengan yang lainnya, akan tetapi mungkin terdapat dua unsur yang sama dimiliki oleh berbagai Hukum Adat tersebut: pertama, sifatnya yang kekeluargaan, dan kedua sifat yang tidak tertulis (dengan pengecualian di beberapa wilayah seperti di Majapahit) (Sunario, 1991). Pada tahap ini sistem hukum yang berlaku di wilayah Nusantara didominasi oleh Hukum Adat dan resepsi Hukum Agama Hindu.

Pada tahap berikutnya masuk Agama Islam ke kepulauan Nusantara, sehingga di beberapa daerah, meresap Agama Islam ke dalam Hukum Adatnya (seperti di Aceh, Banten, Sulawesi Selatan, Lombok dan lain-lain). Sementara beberapa daerah lainnya masih tetap mempertahankan sifat keaslian Hukum Adatnya, dan beberapa wilayah lainnya masih tetap mempertahankan sifat agama Hindunya. Pada tahap ini terdapat tiga macam sub sistem hukum yang berlaku di wilayah Nusantara: resepsi Hukum Islam, resepsi Hukum Agama Hindu dan Hukum Adat Asli.

Pada abad ke 17 bangsa Portugis, Belanda dan bangsa asing lainnya mulai berdatangan di berbagai wilayah Indonesia. Pada misi pertamanya mereka memperkenalkan produk-produk hasil industrinya, akan tetapi selanjutnya mereka juga mempengaruhi masyarakat setempat dengan ajaran-ajaran agamanya, sehingga di beberapa daerah seperti Batak, Sulawesi Utara, Maluku, Irian Jaya, Flores dan lain lain, mulai meresap unsur-unsur agama Kristen dan Katolik dalam Hukum Adatnya. Keadaan ini, memperlihatkan Sistem Hukum Indonesia meliputi bagian-bagian yang terdiri: resepsi Hukum Islam, resepsi Hukum Agama Hindu, resepsi Hukum Agama Kristen/Katolik dan Hukum Adat yang Asli.

Pada masa kolonial Belanda, Belanda memberlakukan semacam undang-undang dasar bagi wilayah Indonesia yang bernama Indische Staatsregeling (IS). Pada masa ini, pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk melakukan unifikasi hukum di Indonesia, dan berkat perjuangan Van Vollenhoven hukum adat juga dimasukkan dalam sistem hukum kolonial Belanda, sehingga terdapat Indische Staatsregeling yang berada di pusatnya dan sistem Hukum Adat, sistem Hukum Islam dan sistem Hukum Barat berada diluarnya.

Setelah Kemerdekaan Indonesia

Setelah proklamasi kemerdekaan, terjadi perubahan dari Sistem Hukum Kolonial Belanda menuju Sistem Hukum Nasional dimana Pancasila dan UUD 1945 menggantikan kedudukan Indische Staatsregeling (IS) sebagai pusat dari Sistem Hukum Indonesia.

Pada tahap selanjutnya, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah menggariskan adanya unifikasi hukum yang berusaha untuk memberlakukan satu sistem hukum di seluruh wilayah Indonesia yaitu Sistem Hukum Nasional. Pada tahap ini pembangunan Sistem Hukum Nasional lebih diarahkan untuk menggantikan hukum-hukum kolonial Belanda dan juga menciptakan bidang-bidang hukum baru yang lebih sesuai sebagai dasar Bangsa Indonesia untuk membangun.

Berdasarkan pandangan sistemik, Sistem Hukum Nasional mencakup berbagai sub bidang-bidang hukum dan berbagai bentuk hukum yang berlaku yang semuanya bersumber pada Pancasila. Keragaman hukum yang sebelumnya terjadi di Indonesia (pluralisme hukum) diusahakan dapat ditransformasikan dalam bidang-bidang hukum yang akan berkembang dan dikembangkan (ius constituendum).

Bidang-bidang hukum inilah yang merupakan fokus perhatian perkembangan dan pengembangan Hukum Nasional menuju pada tatanan Hukum Modern Indonesia yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan (lingkaran terakhir), yurisprudensi (lingkaran keempat), peraturan perundang-undangan (lingkaran ketiga), UUD 1945 (lingkaran kedua), dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

  • PLURALISME HUKUM (LEGAL PLURALISM)

Pluralisme merupakan salah satu faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang. Kompleksitas masyarakat Indonesia yang meliputi: struktur masyarakat, tatanan, bahasa dan kebiasaan-kebiasaan mendorong terbentuknya pluralisme tersebut. Tatanan masyarakat yang pluralistik ini akan mendasari terwujudnya sistem hukum modern Indonesia yang sebaiknya mampu mengakomodasikan keragaman. Van Vollenhoven menjabarkan Indonesia menjadi kuranglebih 19 wilayah/masyarakat hukum yang memiliki karakterisktik tatanan dan norma yang berbeda-beda. Hal ini tentunya merupakan suatu tantangan bagi pembinaan hukum nasional yang bertujuan untuk melakukan unifikasi sistem hukum dengan harapan dapat mengakomodasi pluralisme dengan memasukkan nilai-nialai tradisional

Sifat pluralistik masyarakat Indonesia yang memiliki berbagai pola tatanan sebagai bentuk figurasi masyarakat menuntut pembangunan Hukum Nasional yang dapat mencerminkan pluralisme hukum (legal pluralism) sebagai dasar falsafahya. Hal ini memperkuat harapan agar pembangunan hukum modern Indonesia sebaiknya lebih diarahkan untuk jaminan terhadap kebebasan anggota masyarakat untuk memilih bentuk-bentuk hubungan hukum dan merancangnya sesuai dengan kaidah-kaidah yang disepakati, yang pada akhirnya akan lebih memperkaya perkembangan bidang-bidang hukum di Indoensia.

Pluralisme tatanan yang ada dalam masyarakat tidak hanya disebabkan oleh keragaman tatanan tingkah laku mayarakat yang telah diwariskan dalam beberapa generasi, akan tetapi juga disebabkan oleh perbedaan-perbedaan terhadap perubahan dan perkembangan struktur masyarakat yang secara fungsional melahirkan kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan tujuan yang bervariasi antar kelompok masyarakat. Secara garis besar, ada tiga kelompok masyarakat, yaitu masyarakat tradisional, masyarakat transisi dan masyarakat modern (Soemardjan, 1993). Ketiga kelompok besar masyarakat ini memiliki struktur yang berbeda-beda yang tentunya juga memiliki tatanan, kebutuhan, sistem nilai dan keyakinan yang berbeda pula.

Dari kedua kutub budaya masyarakat tersebut terdapat suatu perbedaan-perbedaan fundamental antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern yang bahkan kadang-kadang dapat dikatakan sebagai suatu yang terpisah baik secara struktur maupun fungsi-fungsi kelembagaannya. Dari kedua kutub budaya tersebut terdapat satu bentuk masyarakat yang disebut sebagai masyarakat transisi atau peralihan, dimana mereka menunjukkan gerak perubahan dengan meninggalkan tatanan adat menuju tatanan modern. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia dapat dikelompokkan dalam bentuk typologi masyarakat ini.

Hukum Positif di Indonesia

Hukum positif di Indonesia dikelompokan dalam beberapa bidang hukum:

Hukum Perdata

  • Burgerlijk Wetboek (Staatsblad 1847/23) diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  • Wetboek van Koophandel en faillissenments-Verordening diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Hukum Kepailitan
  • Undang-Undang No. 4 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria
  • Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Hukum Perdata Adat
  • Hukum Perdata Islam
  • Undang-Undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

Hukum Pidana

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (perbaikan tahun 1986) terjemahan dari Wetboek van Strafrecht (Undang-Undang No.1 tahun 1946)
  • Undang-Undang tentang Subversi
  • Undang-Undang Pidana Militer

Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Usaha Negara

  • Undang-Undang No. 3 tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung
  • Undang-Undang No. 5 tahun 1973 tentang Bepeka (Badan Pemeriksa Keuangan)
  • Undang-Undang No. 14 tahun 1985 Mahkamah Agung
  • Undang-Undang No. 14 tahun 1970 Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
  • Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang PEMILU
  • Undang-Undang No. 62 tahun 1958 Kewarganegaraan Indonesia
  • Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
  • Undang-Undang No. 5 tahun 1979 Pokok-Pokok Pemerintahan Desa
  • Undang-Undang No. 8 tahun 1974 Kepegawaian Republik Indonesia
  • Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara
  • Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Pertambangan
  • Undang-Undang No. 14 tahun 1969 tentang Ketenagakerjaan
  • Undang-Undang No. 7 tahun 1983 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  • Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Undang-Undang No. 2 tahun 1989 Sistem Pendidikan Nasional
  • Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian
  • Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan

Hukum Acara

  • Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  • Reglemen Indonesia yang diperbaharui dari (HIR, Stastsblad No. 14 tahun 1941)
  • Hukum Acara Pidana Militer
  • Hukum Acara Peradilan Agama

Reformasi Cuma Tinggal Merek

Oleh :
Nirwanto Ki S. Hendrowinoto


Di mata dunia luar, Indonesia tidak saja memiliki pesona sejuta pulau tetapi juga punya seabrek ragam budaya dengan segala keunikannya. Kini daya tariknya bertambah dengan sensasi pesta demokrasi tahun 2004.
Bisa dibayangkan dua puluh empat partai maju ke medan laga. Mereka bakal tampil dengan segala ulah yang aneh-aneh. Bukan sekadar mengibarkan bendera sambil bersorak tapi mereka akan saling berebut dan ‘mencuri’ hati rakyat.
Memang, pesta kali ini sangat spesial dan tergolong khusus serta istimewa. Selain nuansanya jauh berbeda dibandingkan yang terdahulu, mata rakyat juga harus dilatih untuk membedakan mana partai yang baik dan yang gurem atau partai cangkokan yang dibuat untuk memperbanyak pasukan. Mengingat jumlahnya yang berjibun dan jati diri partai masih belum jelas maka tidak mudah bagi rakyat untuk jatuh cinta.
Perlu adanya sosialiasi dan pembelajaran politik agar rakyat tidak gamang dan salah pilih. Tugas berat ini harus dipikul partai dalam menyampaikan visi dan misinya secara jelas. Jangan sampai rakyat merasa tertipu, karena bisanya partai hanya cuap-cuap dan mengumbar pepesan kosong.
Selama ini, rakyat hanya jadi sapi perahan untuk dan atas nama demokrasi demi perjuangan reformasi. Buktinya, di zaman Orla, Orba dan Reformasi tetap saja rakyat jadi obyek pelengkap penderita.
Hampir semua partai bicara soal pengentasan kemiskinan, brantas KKN, tegakkan keadilan dan HAM serta pengibaran bendera demokrasi yang dapat membawa kesejahteraan rakyat. Nyatanya, semua yang diucapkan di atas mimbar pesta rakyat hasilnya berbeda dengan kenyataan yang ada. Slogan itu hanya fatamorgana bagai mimpi di siang bolong yang hasilnya bodong.
Para politisi pinter. Dia beri istilah pemilu dengan sebutan pesta rakyat. Padahal nyatanya yang pesta itu para pimpinan dan tokoh partai. Mereka bancakan posisi.. Ada yang di eksekutif atau legislatif.Dan tentu saja dibelakang posisi itu secara otomatis doku gede mengalir. Nah gimana rakyat yang mendukung ? Biarin saja mereka gigit jari. Kalau perlu diinjek dan digusur. Toh masing-masing sudah dapet kursi. Buat apa ngopenin rakyat, mereka pan saudara bukan famili bukan. Buat apa dipikirin.

Dua Pendekar
Maraknya pemilu mendatang diwarnai dengan munculnya orang-orang Orba dan bangkitnya Orla. Tercatat, calon presiden dari kelompok Orba mempercayakan Mbak Tutut jadi ‘Wanita Piningit’ dan Mbak Mega mewakili kelompok nasionalis yang mewarisi gaya Orla karena nama besar orang tuanya, Bung Karno.
Dua nama lainnya yang masih bersaudara tidak mau ketinggalan kereta, baik Rachmawati dan Sukmawati menguntit karir kakaknya Megawati juga masih ‘menjual’ nama Soekarno. Persaingan yang terjadi dalam memperebutkan kursi kekuasaan, bukanlah hal yang sepele. Pasalnya, kue kekuasaan yang terbagi-bagi akan menjadi kecil karena seleranya tidak jauh berbeda. Begitupun dengan dagangan yang ditawarkan pada khalayak dari itu ke itu saja.
Boleh jadi ajang pesta demokrasi ini hanyalah sebagai suatu proses menguji ”adu kekuatan” dua kubu yang ingin mempertahankan nilai sejarah. Masalahnya, di zaman Orba – kekuasaan dan kekuatan yang dibangun Pak Harto tergolong sangat kuat dan mengakar. Meskipun pada kenyataannya sekarang sudah banyak yang ingin belajar mandiri dan berusaha menghapus sejarah masa lampau.
Sedangkan pada kekuatan yang dibangun Bung Karno pada sikap dan prinsip mempertahankan ideologynya yang sangat kuat sebagai bangsa yang punya harga diri. Kekuatan ini tampaknya dipergunakan trilogi putri Bung Karno sebagai basis dalam membangun ‘kerajaan keluarga’. Itu sebabnya, Megawati, Racmawati dan Sukamawati muncul ke permukaan.
Bagaimana dengan partai-partai lain yang masih ‘ingusan’ ? Tentu saja harus menjual obral barang dagangannya. Termasuk partai Golkar yang hanya bisa menunggu kemurahan hati dari pengikut-pengikut lamanya yang masih setia dan rela berkorban.Namun, dari penggalangan masa yang sangat kuat dan berkuasa, Mbak Tutut dan Mbak Mega bisa jadi keduanya menjadi ‘maestro’ bagi symbol kekuasaan sebuah rezim di republik ini.
Nampaknya pertarungan Mega-Tutut dalam politik tidak lepas dari masa kanak-kanak mereka. Waktu satu sekolah di Cikini, Mega yang anak presiden waktu itu tidak akur dengan Tutut . Sering perang dingin dan main kata-kataan. Mega ngatain Tutut dan sebaliknya. Rupanya perasaan itu ikut terbawa sampai tua.

Kecap Nomor Satu
Pada umumnya, propaganda bukan saja ingin meraih simpati konsumen sebagai tujuan akhir tetapi juga menanamkan kepercayaan. Nilai produk yang ditawarkan selalu mengatasnamakan nomor satu, seperti iklan yang ada pada kecap merk apapun. Perkara rasanya satu dengan lainnya berbeda tidak menjadi soal.
Secara keseluruhan paratai-partai peserta pemilu tidak lebih dari sekadar ingin mencari peluang agar bisa mencapai kekuasaan. Ulahnya pasti unik dan lucu. Kalaupun tidak patut ditertawakan, pasti akan menggelikan jika melakukan propaganda. Sensasi yang dilakukan pasti lebih lucu dari lawakan atau kelas dagelan di layar kaca.
Siapa yang bakal menang. Dari kelompok Orla atau Orba ? Kita tidak tahu. Tapi yang jelas kelompok dan tokoh reformis pada kemana ? Kalau begitu reformasi cuma tinggal merek. Banyak disebut-sebut tapi kalau diraba tidak ada. Kasihan kamu.

(Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan budaya)